KEBUDAYAAN SUKU BATAK TOBA

Di jelaskan Secara umum bahwa nilai serta Kebudayaannya Suku Batak Toba Sumatera Utara dapatlah di diskripsikan menjadi beberapa bagian.

Sistem Kekerabatan

Secara umum sistem kekerabatan pada masyarakat Suku Batak memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua Suku  Batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing pula memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah  bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal Si Raja Batak dan keturunannya. Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.

Keyakinan (Religi)

Sebelum masuknya Agama Kristen yang dibawa misionaris Jerman (Nomensen) pada abad ke-19 masyarakat batak toba masih menganut kepercayaan Animesme, yang dikenal dengan nama Pamalim. Paham Parmalim yang dianut oleh masyarakat batak toba kuno inipun memiliki beberapa konsepsi.

Pertama, konsepsi tentang maha pencipta bahwa ala mini dan seluruh isinya diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na bolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Debata(ompung) mulajadi diyakini sebagai maha pencipta yang mengatur gejala alam seperti hujan, kehamilan dll. Sedangkan yang tinggal di bumi sebagai penguasa Dunia bernama Silaon na Bolon. Ada juga Pane na Bolon atau Tuan Paduka Aji yang berkuasa terhadap makhlus halus.

Kedua, konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu Tondi, Sahala dan Begu. Tondi diartikan sebagai kekuatan dari jiwa atau roh yang dimiliki seseorang. Sahala adalah jiwa atau roh seseorang berdasarkan kedudukannya. Sahala dari seorang Raja atau Datu misalnya, akan lebih banyak dan juga lebih kuat daripada orang biasa. Begitu pula Sahala dari orang Hula-Hula lebih kuat dari Sahala orang Boru. Sahala inilah yang menentukan derajat seseorang.

Ketiga, konsepsi Begu, ialah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal ada Begu yang baik dan ada yang jahat. Sesuai dengan kebutuhannya, Begu tersebut di puja dengan sebuah sajian (pelean).

Di kalangan orang batak toba, Begu yang terpenting ialah Sumangot Ni Ompu (begu dari nenek moyang). Untuk upacara penghormatan kepada Begu yang menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan yang mempunyai keturunan akan dibuat secara besar-besaran. Upacara tersebut akan diiringi dengan pertunjukan gondang (musik batak).

Saat ini, meski sebagian besar masyarakat batak toba sudah memeluk agama kristen, masih ada sebagian masyarakat suku Batak Toba yang masih menganut paham Pamalim. Paham tersebut hingga kini masih kental dan terus terjaga, khususnya pada daerah-daerah pedalaman.

Adat Perkawaninan
Dalam adat perkawinan suku Batak Toba Perkawinan merupakan salah satu upacara ritual adat. Penyatuan dua orang dari anggota masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok masyarakat Batak Toba. Serangkaian hal penting dalam acara ritual adat perkawinan suku batak toba melibatkan peran masyarakat. Bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakatnya itu sendiri. Pesta pernikahan inipun merupakan salah satu bentuk kegembiraan yang diperlihatkan kepada maysarakat dan kerabat. Untuk tata cara pelaksanaan penikahan adat batak inipun harus mengikuti hukum adat yang berlaku. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melaksanakan pernikahan adat pada masyarakat suku batak toba.

Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah Patiur Baba Ni Mual, yaitu mohon restu kepada Tulang (paman) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodohnya. Apabila pasangan hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa putranya permisi dan mohon doa restu tulang, adat inipun hanya dilakukan pada putra saja.

Kedua, Marhori-hori Dingding, atau perkenalan keluarga terlebih dahulu. Beberapa bulan sebelum dilaksanakan pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) akan mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan tujuan memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Hal ini dilakukan oleh keluarga inti saja.

Ketiga, Patua Hata yaitu pelamaran secara resmi. Setelah lamaran Patiur Baba Nimual dilakukan dan disetujui oleh pihak wanita akan dilanjutkan dengan pelamaran secara resmi (Hori-Hori Dingding). Waktunya ditentukan saat perkenalan keluarga. Pada acara tersebut pihak lelaki akan mempersembahkan Tudu-Tudu Sipanganon (kepala babi/kerbau yang telah dimasak). Sedangkan pihak Parboru (wanita) akan memberikan Dengke (ikan mas). Acara ini akan dilakukan oleh ketua adat. Dalam acara ini akan dibiacarakan secara resmi mengenai acara Marhata Sinamot (pembelian wanita), Martumpol (perjanjian yang mengikat antara calon mempelai pria dengan mempelai wanita). Acara ini dilaksanakan di gereja dan disaksikan oleh pendeta. Selanjutnya, Martunggo Raja dan Maria Raja yaitu persiapan pra nikah dan mengundang masyarakat untuk hadir pada acara pernikahan yang telah ditentukan pelaksanaannya.

Keempat, pemberkatan nikah (Pemasu-Masuon) dan acara adat (Marunjuk). Setelah waktu yang telah ditentukan tiba (hari dilangsungkannya pernikahan), pagi hari sebelum dimulai pemberkatan/ catatan sipil/ pesta adat, acara dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di dikediamannya disertai dengan makan pagi bersama dan berdoa untuk kelangsungan pesta pernikahan, biasanya akan ada penyerahan bunga oleh mempelai pria dan pemasangan bunga oleh mempelai wanita, dilanjutkan dengan penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon (kepala babi/kerbau) dan pihak wanita juga menyerahkan Dengke (ikan mas), lalu makan bersama. Selesai makan berangkat menuju tempat pemberkatan pernikahan sang mempelai.

Pemberkatan tersebut akan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum acara pemberkatan dimulai, biasanya dilakukan pencatatan sipil. Setelah pemberkatan dan pencatatan sipil selesai, seluruh keluarga akan berangkat menuju tempat pesta adat dilaksanakan.

Adat Kematian

Pada masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia.

Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, akan dilaksanakan sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meningga. Yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat dan langsung dikubur tanpa menggunakan peti mati. Berbeda bila sang anak mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut akan mendapat perlakuan adat: mayatnya akan ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan.

Pada masyarakat Batak Toba, khususnya yang masih bertempat tinggal di Sumatera Utara adat kematian biasanya akan menampilkan alat musik berupa organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, dan minum minuman tradisional suku batak yaitu tuak. Untuk peyembelihan hewan, juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.

Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, pihak-pihak kerabat akan mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu pertama pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri). Kedua dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu: teman atau saudara semarga). Ketiga, adalah kelompok yang terdiri dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan, keluarga perempuan pihak ayah.

Setelah proses musyawarah selesai dilanjutkan dengan Martonggo Raja yang akan dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka mulai sore hari hingga selesai. Masyarakat setempatpun (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat tersebut. Musyawarah akan membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara.

Demikian penjelasan singkat dari kami tentang Kebudayaan Suku Batak Toba di Provinsi Sumatera Utara. Bagi Anda yang ingin datang untuk mengenal kebudayaan suku batak toba kami telah  menyiapkan paketnya.

Info kami:
Mobile : 0812 6433 2925 (WhatsApp)
Email: travelingsumatera@gmail.com
Pin : 5F6F493C

HISTORY RUMAH BOLON PEMATANG PURBA

HISTORY RUMAH BOLON PEMATANG PURBA
Rumah Bolon, siapa yang tidak tahu bangunan ini ?
Rumah Bolon merupakan bangunan Rumah Adat Batak yang menjadi simbolisasi kebudayaan masyarakat Batak. Berbicara tentang Rumah Bolon, bangunan yang eksotis ini banyak sekali dijumpai di wilayah Pulau Samosir hingga beberapa wilayah di Danau Toba.

Sebab menurut catatan sejarah, Rumah Bolon ini dibangun pada masa perkembangan sosial dalam masyarakat Batak yang diyakini berasal dari wilayah Pulau Samosir. Bahkan, Rumah Bolon ini pun menjadi saksi akan kisah-kisah kejayaan raja-raja Batak yang pernah berkuasa di Tanah Batak pada masa dahulu hingga menjadi saksi akan kehidupan masyarakat Batak.

Ya, Rumah Bolon ini merupakan bangunan adat legendaris dan menurut historisnya sendiri Rumah Bolon ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya di beberapa generasi awal dari Siraja Batak.

Seiring dengan pembagian etnis Batak ke dalam beberapa sub-etnis Batak, Rumah Bolon pun masih tetap digunakan sebagai simbolisasi kebudayaan beberapa sub-etnis Batak tersebut.

Meskipun ada dua sub-etnis Batak yang tidak memiliki bangunan adat Rumah Bolon, seperti etnis Mandailing dan etnis Batak Angkola dengan bangunan adat Sopo Godang, yang bentuknya berbeda bahkan satu bahagiannya pun tidak ada yang mengadopsi dan menyerupai bangunan Rumah Bolon.

Berbicara tentang sub-etnis Batak yang memiliki bangunan adat berupa Rumah Bolon, di wilayah Simalungun terdapat sebuah sub-etnis Batak yang bernama Batak Simalungun. Sub-etnis Batak Simalungun ini merupakan sub-etnis Batak yang berasal dari wilayah Simalungun.

Sub-etnis Batak Simalungun ini diyakini masih memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan Siraja Batak yang berasal di Pulau Samosir, sehingga menurut historisnya terdahulu ada seorang keturunan dari Siraja Batak yang merantau dan membuka pemukiman di wilayah Simalungun sehingga munculah sub-etnis Batak Simalungun.

Karena sub-etnis ini erat kaitannya dengan Siraja Batak, maka sub-etnis Batak Simalungun juga mengadopsi beberapa kebudayaan yang terdapat di Pulau Samosir, yang sebahagian besar bersub-etnis Batak Toba. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Rumah Bolon.

Rumah Bolon sub-etnis Batak Simalungun ini memang mengadopsi bangunan Rumah Bolon yang terdapat di Pulau Samosir, namun tentu saja Rumah Bolon sub-etnis Batak Simalungun ini mempunyai arsitektur yang sedikit berbeda. Salah satu Rumah Bolon sub-etnis Batak Simalungun yang terdapat di wilayah Simalungun adalah Rumah Bolon Pematang Purba.

Rumah Bolon Pematang Purba, pernahkah Anda mendengar nama bangunan yang satu ini ?
Bagi Anda yang pernah berkunjung ke Kabupaten Simalungun, tentunya Anda sudah tidak asing lagi dengan bangunan yang satu ini sebab bangunan ini letaknya cukup strategis.

Rumah Bolon Pematang Purba ini terletak di wilayah Pematang Purba, yang merupakan sebuah daerah dataran tinggi tak jauh dari kota Pematang Siantar sehingga sangat mudah dijangkau. Rumah Bolon Pematang Purba ini merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di Kabupaten Simalungun, bahkan menjadi simbolisasi terpenting dalam kebudayaan Simalungun.

Seperti halnya Rumah Bolon yang terdapat di Pulau Samosir, Rumah Bolon Pematang Purba ini pun juga menjadi saksi bisu akan kehidupan masyarakat dan raja-raja yang pernah berkuasa di wilayah Simalungun ratusan tahun yang lalu.

Rumah Bolon Pematang Purba ini terlihat menarik perhatian para wisatawan ketika melintas ke wilayah Pematang Purba, sehingga tak jarang objek wisata sejarah yang satu ini menjadi salah satu objek wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan.

Wisatawan tidak hanya berasal dari daerah-daerah di Indonesia saja, sebab wisatawan yang berasal dari mancanegara pun turut menyambangi situs sejarah kebudayaan sub-etnis Batak Simalungun ini.

Rumah Bolon Pematang Purba sesuai fungsinya, pada masa dahulu Rumah Bolon Pematang Purba ini adalah kediaman seorang raja yang pernah berkuasa di wilayah Simalungun.

Raja tersebut bernama Raja Purba XII Tuan Rahalim yang merupakan seorang raja yang pernah berjaya di Simalungun pada pertengahan abad ke-19 dan merupakan salah satu raja yang namanya tersohor di Nusantara.

Raja Purba dikenal oleh rakyat Simalungun sebagai raja yang sangat piawai dalam memimpin sehingga sosoknya pun sangat disegani oleh masyarakat. Raja yang mempunyai 24 orang istri tersebut, merupakan seorang raja yang jasa-jasanya dalam membangun kebudayaan Simalungun telah diakui karena kejayaan kebudayaan Simalungun sendiri berada pada masa kepemimpinannya.

Rumah Bolon Pematang Purba ini sekilas bentuknya memang mirip sekali dengan Rumah Bolon yang terdapat di Pulau Samosir, arsitekturnya yang unik dan keseluruhan bangunannya dibuat dari kayu-kayu yang berkualitas yang di datangkan dari beberapa wilayah di Sumatera Utara.

Di dalam Rumah Bolon Pematang Purba ini terdapat beberapa buah tanduk kerbau, tanduk kerbau tersebut merupakan tanduk kerbau yang pernah digunakan pada upacara adat Simalungun yang dipimpin langsung oleh Raja Purba.

Selain tanduk kerbau, di Rumah Bolon tersebut terdapat sebuah ruangan yang letaknya tersembunyi. Ruangan tersebut adalah ruangan bawah tanah dengan beberapa gondang tua di sisi-sisinya.

Bagaimana, menarik bukan ?
Bagi Anda yang ingin mengunjungi salah satu objek wisata sejarah di Kabupaten Simalungun, Anda pun dapat berkunjung ke Rumah Bolon Pematang Purba ini.

Dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat dan waktu tempuh sekitar 1 jam hingga 1,5 jam dari kota Pematang Siantar, Anda pun sudah dapat mengetahui berbagai kebudayaan Simalungun melalui bangunan ini.

Bahkan, apabila Anda ingin lebih jelas mengetahui kisah sejarah di balik bangunan Rumah Bolon Pematang Purba ini, beberapa pemandu tidak sungkan menjelaskannya kepada Anda.

Info detail : 0812 6433 2925

PERSEPSI TENTANG PEMUDA BATAK DI PERANTAUAN

Inilah beberapa persepsi orang tentang pemuda Batak di perantauan.

Yang pertama “Begitu lihat tipe wajah petak-petak, suara keras, tegas dan galak, orang akan langsung bertanya, ‘Batak ya?’ “. Padahal banyak teman-teman yang Batak, kesannya saja galak, tapi hatinya Hello Kitty. Dengar lagu O Tano Batak dan Inong saja langsung nangis.

Yang kedua, sekalinya tahu orang itu Batak, pertanyaan berikutnya selalu, “Margamu apa?”, atau langsung disapa, “Horas bah, Hai Inang, Hai Butet, atau Hai Ucok.” Tetapi pemuda Batak di perantauan begitu ketahuan marganya, sering bingung kalau ditanya, “Nomor berapa?” padahal itu biasa ditanyakan sesama Batak untuk mengetahui silsilah di marganya, di tarombonya; dia nomor berapa.

Yang ketiga, Ketika lagi nongkrong bawa gitar dan ketahuan orang Batak, orang akan langsung disuruh nyanyi. Padahal tidak semua orang Batak bisa bernyanyi.

Lalu begitu ketahuan masih kuliah, pasti dikira mahasiswa hukum. Karena selalu dipersepsikan ‘pintar debat’, mau jadi pengacara; mengikuti jejak dua orang sahabat: Ruhut Sitompul dan Hotman Paris ‘Hutapea’.

Itulah beberapa persepsi tentang pemuda Batak diperantauan.

Sejatinya, Batak tidak pernah lupa 3 hal, untuk modalnya mencapai sukses yaitu: Hamoraon (kekayaan), Hagabeon (kebahagiaan), dan diatas segalanya adalah Hasangapon (Kehormatan).

Dan juga 5 falsafah Batak yang tak boleh dilupakan, “Orang Batak harus Mardebata (Punya Tuhan), Maradat (punya adat), Marpangkirimon (punya harapan), Marpatik (punya aturan), dan Marpinompar (punya keturunan, agar silsilah tidak putus).”

SEJARAH PEMATANG SIANTAR


Pematangsiantar merupakan perpaduan dari dua kata yaitu kata pematang dan siantar. Kedua kata ini tidak pula dapat dipastikan berasal kata dari bahasa batak sekarang tetapi lebih jauh berasal dari kata melayu kuno yang sudah diadopsi dalam kosa kata sehari-hari dalam bahasa batak pesisir khususnya di daerah Simalungun.

Pematangsiantar 1938
Diabad 20 sekarang, bila ada orang mengatakan kata ‘siantar’ maka akan terkenang atau mengingatkannya pada suatu kota yang terkenal keras dan premanis dan banyak jawaranya. Padahal dari kota siantar ini sangat banyak menghasilkan manusia-manusia yang berhasil bahkan sudahpun ada yang sampai menjadi pemimpin Negara tercinta ini.

Masyarakat di Pematangsiantar memang mempunyai heterogen yang sangat banyak, berbagai suku, agama dan budaya ada terdapat disana. Hal ini yang pada masa lalu membuat masing-masing masyarakat yang ada dalam mempertahankan identitas dirinya masing-masing terutama disaat adanya interaksi dapat menimbulkan perselisihan yang tajam.

Keadaan demikian tentu tidak menghidarkan masyarakat tersebut untuk saling curiga dan mudah tersinggung bahkan terjadi perkelahian. Dalam mencari rezeki dipusat kota atau dipasar , hal itupun akan menjadi sesuatu yang laten untuk saling melindungi golongannya. Syukurlah dari pembangunan yang dilakukan pemerintah telah memberikan kesadaran akan perlunya saling toleransi dan saling menghormati disemua aspek membuat hal-hal yang jelek ada dahulunya sudah mulai terkikis.

Lapangan Simarito
Masyarakat Pematangsiantar sudah sibuk membangun dirinya masing-masing terutama adanya patron yang ditiru dari putra-putri asal Pematang Siantar yang telah berhasil dibidang pendidikannya maupun karir. Masyarakat disana sangat suka dan berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya sampai setingi-tingginya.

Disaat sekarang ini dikota Pematangsiantar yaitu kota yang terletak di Sumatera Utara, dan menjadi kota kedua terbesar setelah kota Medan memiliki masyarakat yang terdiri dari beragam suku, agama tetapi masyarakatnya telah mampu untuk tetap solid dan saling menghargai.

Tak banyak orang tahu asal muasal nama daerah ini, apalagi generasi muda sekarang (tahun 2006) sudah tidak tertarik mempelajari lebih jauh tentang budaya. Hanya segelintir orang, sesepuh atau budayawan atau pelaku sejarah saja yang tertarik mempelajari sejarah wisata daerah ini.

Nama asli Kota Siantar disebut Siattar dan masih terkait dengan kerajaan di Simalungun yaitu yang dikenal orang dengan Raja Jumorlang dan Datu Bolon.

Nama Pematang Siantar tersebut diawali dari cerita kedua tokoh ini, yang mana keduanya memiliki kesaktian mandraguna dan saling mengadu kesaktiannya.

Disuatu hari kedua tokoh ini mengadakan pertandingan kesaktian dan bagi pemenangnya akan mendapatkan “hadiah” yaitu berbentuk tanah atau wilayah dan harta benda serta istri orang yang telah dikalahkan.
Adu tanding kesaktian dikala itu sudah biasa dilakukan, namun pertandingan antara Raja Jumorlang dengan Datu Bolon dinilai sangat luar biasa karena kesaktian mereka sangat tersohor, sehingga masyarakat jadi penasaran dan ingin segerah tahu siapa yang menjadi pemenangnya. Adu kesaktianpun berlangsung di Bukit Parbijaan di Pulau Holong.

Tak diduga dalam adu kesaktian itu dimenangkan oleh Datu Bolon, sedangkan Raja Jumorlang kalah, tetapi secara kesatria , kedudukan Raja Jumorlang berpindah kepada Datu Bolon. Begitu hebatnya ilmu yang dimiliki Datu Bolon, setelah memenangkan pertandingan itu , diapun merubah namanya menjadi Raja Namartuah.

Raja Namartuah atau Datu Bolon akhirnya mengawini bekas permaisuri dari Raja Jumorlang dan posisinya tetap sebagai permaisuri (Puanbolon). Dari keturunan ini kelak akan menjadi penerus kerajaan Siattar, sedangkan anak dari Raja Jumorlang oleh Raja Namartuah dijadikan anak tiri.

Asal mula nama Siattar itu berasal dari nama sebidang tanah di “attaran” pada Pulau Holong. Dalam bahasa Simalungun “attar” ditambah akhiran an artinya kata unjuk untuk sebuah wilayah (areal tanah). Lama kelamaan akhiran an ini berubah menjadi awalan “si”.

Jln. Cipto

Sementara awalan “si” dalam bahasa Simalungun dipakai untuk sebuah kata tempat dan benda. Setelah digabung, akhirnya kata-kata itu menjadi nama sebuah perkampungan . Lama kelamaan daerah ini makin padat penduduknya dan warga pendatang juga terus bertambah.

Sedangkan kata Pematang berasal dan berartikan parhutaan atau perkampungan. Dulu Raja yang berkuasa di Siattar tinggal di Rumah Bolon atau Huta dan dari keadaan demikian inilah muncul ide tempat tinggal raja disebut pematang. Sehingga jika digabungkan nama itu menjadi Pematang Siantar artinya Istana Raja Siattar.

Sebelum mengalahkan Raja Jumorlang, Datu Bolon atau Raja Namartuah dikala itu sudah memiliki daerah kekuasaan yakni kerajaan SIPOLHA, lama kelamaan kerajaan itu digabungkan ke dalam suatu pusat pemerintahan di Siattar. Uniknya, dalam adat Simalungun, partuanon Sipolha berkedudukan sebagai tuan Kaha dan mempunyai hak menobatkan Raja Siattar.

Pertanyaannya mengapa partuanon sipolha justru bertindak menjadi tuan ‘ kaha’ dari pada Raja Siantar ?
Bila kita pergi ke Sipolha , maka disana akan terdapat suatu Huta bernama Huta Mula dan tempat tersebut didiami oleh Raja Malau. Generasi Malau Raja yang merantau ke Sipolha kemudian membangun daerah kekuasaanya disana dan tak bisa dipungkiri bahwa keturunan Malau Raja tersebut datang bersama-sama dengan keturunan dari Silau Raja lainnya yaitu Manik Raja, Ambarita Raja maupun Gurning Raja.

Malau Raja sebagai anak tertua dari keturunan Silau Raja harus bertindak sebagai kakak tertua bagi adik-adiknya yang lain dan tak terkecuali untuk wilayah Sipolha tersebut. Di Sipolha khususnya di Huta Mula maka yang menjadi penguasa kerajaan adalah bermarga Malau.

Oleh sebab itu, didalam Kerajaan Siattar akhirnya dibagi dalam lima (5) partuanon dan satu parbapaan yaitu:

1. Partuanon Nagahuta.
2. Partuanon Sipolha.
3. Partuanon Marihat.
4. Partuanon Sidamanik.
5. Partuanon Bandar Tungkat.

Sedangkan untuk parbapaan khusus satu yaitu parbapaan Dolok Malela dan Tuan Bangun. Pembagian wilayah ini sampai sekarang masih dipertahankan dan berlaku khususnya dalam budaya.

SEJARAH KOTA TEBING TINGGI

SEJARAH KOTA TEBING TINGGI
Kota Tebing Tinggi
KOTA Tebing Tinggi berjarak sekitar 80 km dari Kota Medan – Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota yang dikelilingi perkebunan milik PTPN III, IV dan Socfindo. Merujuk makalah berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi”, kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.

    Sejarah berdirinya Kota Tebing Tinggi dapat pula kita ketahui dari sebuah memori Tuan J.J. Mendelaar, mantan Voorzitter Don Gemeenteraad Tebing Tinggi, yang bila diterjemahkan secara bebas berbunyi : “Setelah beberapa tahun dalam keadaan vacum mengenai perluasan pelaksanaan desentralisasi, maka pada tanggal 31 Juni 1917 berdirilah Gemeente Tebing Tinggi dengan Insteling Ordonantie Van Staatsblad 1917 nomor 282, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1917.


DATUK BANDAR KAJUM

    Riwayat menceritakan, bahwa ada seseorang dari Bandar berpuak Simalungun bernama Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampungnya melawat ke daerah Padang, bersama-sama keluarga dan pengikut-pengikutnya, karena diserang kerajaan lain.

    Mula-mula mereka menempati sebuah kampung yang bernama Tanjung Marulak diwilayah Tuan Rambutan – daerah Kebun Rambutan. Di Tanjung Marulak inipun mereka mendapat serangan dari Kerajaan Raya, kemudian Datuk Bandar Kajum (marga Damanik) mencari tempat tinggal di atas dataran tinggi di pinggir sungai Padang.

    Bersama dengan beberapa pengikutnya Datuk Bandar Kajum mendirikan rumah dan kampung yang di pagari dengan kayu yang kokoh di Tebing tepi sungai Padang, dibuatnya tempat pertahanan gunanya untuk menahan serangan musuh kalau datang menyerbu kampungnya.

    Pada suatu ketika puluhan orang dari Raya datang menyerang kampung Datuk Bandar Kajum, melihat musuh yang datang, seluruh keluarga Datuk Bandar Kajum dan orang-orang di kampung itu melarikan diri mengungsi ke kebun Rambutan.

    Diceritakan, Datuk Bandar Kajum memperoleh bantuan dari administratur kebun Rambutan, sehingga Datuk Bandar Kajum dapat mengalahkan orang-orang dari Raya dan pimpinan pasukannya dapat ditawan. Kemudian Datuk Bandar Kajum dan keluarganya bersama pengikut-pengikutnya kembali ke kampung yang telah dibangunnya, di dataran tinggi pertemuan sungai Padang dan sungai Bahilang. Di tempat itu pernah dibangun pelataran tempat sampan berlabuh dan tempat sampan ditambatkan.

    Tempat itu kemudian terus berkembang menjadi tempat pemukiman dan pemakaman Datuk Bandar Kajum dan keluarga serta pengikut-pengikutnya. Itulah asal usul Kota Tebing Tinggi yang sekarang disebut Tebing Tinggi Lama.


KERAJAAN PADANG

    Jauh sebelum kedatangan Datuk Bandar Kajum, di Tebing Tinggi dan sekitarnya telah berdiri kerajaan Padang. Bahkan Datuk Bandar Kajum di-Datuk-kan oleh Kerajaan Padang dimasa Raja Goraha memerintah. Kerajaan Padang adalah kerajaan Melayu yang berakar dari clan Saragih Dasak puak Simalungun.

    Mengikuti silsilah Saragih Garingging, Saragih Dasalak dimulai dari putra Raja Nengel yaitu Tuan Mortiha. Menurut ‘Turiturian’ yang lain Dasalak adalah nama, Yaitu berita Raja menemukan seorang bayi di atas rumpun Bambu saat sedang berburu ke hutan, yang disebut juga “Jolma napultak humbai buluh”. Lalu anak bayi itu diberi nama : Dasalak lahir tahun berkisar 1690, selisih umur 1 tahun dengan Raja Bolon. Permaisuri sangat sibuk dengan pekerjaan mengurus kedua bayi yang masih kecil itu, walaupun dibantu dengan kalangan istana.
    Pertumbuhan kedua anak itu berjalan dengan baik,terlihat kemiripan mereka seolah olah kembar, karena kecerdasan dan perawakan mereka hampir sama. Sejak berumur 9 tahun kedua anak itu masing2 diberikan permainan Gasing. Raja Bolon diberi Gasing yang terbuat dari emas,sedangkan si Dasalak terbuat dari perak. Dengan demikian,dari jauh sudah bisa dibedakan yang mana Raja Bolon dan yang mana Dasalak.
Di kisah lain Dasalak bermula dari “Mardawam Begu” (hubungan semarga hingga melahirkan anak) oleh Raja Nengel.

    Dari sinilah muncul Kerajaan atau pun Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sekitarnya. Bahkan WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi ceritera pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal.

    Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.

    Jika dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksiistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang di Tebing Tinggi sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya ini.

    Menurut penuturan orang-orang tua tempatan, berbagai rujukan dan catatan Putra Praja (1-1-1964), kisah Kerajaan Padang di Tebing Tinggi dimulai dari Raja:

    Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar)
    Marah Sudin
    Raja Saladin
    Raja Adam
    Raja Syahdewa
    Raja Sidin
    Raja Tebing Pangeran (1806-1823)
    Marah Hakim (Raja Geraha 1823-1870)
    Maharaja Muda Haji Muhammad Nurdin (Wazir Negeri Padang 1870-1914)
    Raja Alamsyah (1928-1931)
    Raja Ismail (1931-1933)
    Raja Hassim (1933-1946)

    Tuhan Hapultakan (dikenal juga dengan nama Tuan Oemar Baginda Saleh Komar) yang ber-’Pamatang’ di Bajenis – Tebing Tinggi. Tuhan Hapultakan – Saragih Dasalak gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Puang Jaenap. Setelah Tuhan Hapultakan – Saragih gelar Tuan Oemar Baginda Saleh Komar mangkat, abad 16, Raja beralih kepada Marah Sudin. Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Tuan Marah Saladin yang terpusat di Bulian. dizamannya terkisah banyak jejayaan, meski umur beliau tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin, Raja Pangeran. Dizaman Raja Pangeran dan dibantu Raja Syahbokar ini, saudara-saudaranya dari Saragih Garingging banyak berdatangan untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata dan lainnya. Dizaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Raja Pangeran & Syahbokar memanggil garis turunan Raja Bolon – Saragih Garingging, yang dikenal Parmata (memiliki ‘kemampuam linuwih’ ) yaitu Putra Tuan malayu, yaituTuan Jaamta untuk membantu beliau mengatasi upaya ekspansi Deli.

    Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan ksatria berdarah Bugis.

    Raja Padang menugaskan Tuan Jaamta Malayu untuk memimpin perlawanan. Tuan Jaamta yang Parmata ini memimpin peperangan hingga Deli & Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan yang dipimpin Jaamta Malayu itu hingga ke wilayah dekat Penggalangan. Deli kalah telak hingga wilayah itu banjir darah; ibarat sungai dengan darah kering yang menghitam, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Bah Birong (kini disebut Sei Berong – pinggiran luar Tebing Tinggi) Usai perang tersebut Raja Raya memanggil kembali Jaamta Malayu. Kesempatan ini dimanfaatkan Deli untuk menawarkan musyawarah damai kepada Raja Pangeran . Raja menyanggupi, dan perundingan disepakati di daerah Bandar Khalifah.

    Sesampainya di Kampung Juhar – Bandar Khalifah, ternyata Panglima Daud sudah menghadang dan menghunuskan Keris ke perut Raja Pangeran. Saat itu pula Raja Pangeran tewas. Diceritakan bahwa Keris yang dipakai untuk membunuh Raja Pangeran adalah keris leluhur Saragih Dasalak yang dicuri Panglima Daud saat ia masih berhubungan baik dengan Raja Syahbokar. Kerajaan Padang selanjutnya dipimpin turunan Puang Jaenap, yaitu Marah Hakum yang dibantu pula oleh para pembesar semasa Raja Pangeran , sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya memegang jabatan Bendahara. Raya memberi gelar Raja Goraha bagi Marah Hakum, karena ia bukan asli Partuanon Simalungun, karena ayahnya adalah berasal dari Barus. Di zaman Raja Goraha 1823 – 1870 (orang Tebing Tinggi menyebutnya Raja Geraha) ini, Raja mengangkat ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya, Tuan Rambutan, Syahimbang Saragih (Selanjutnya digelari Orang Kaya Syahimbang), Jaamta Malayu Saragih (selanjutnya digelari Tengku Jaamta Malayu – Penasihat Raja), Datuk Alang dan lainnya. Pemerintahan selanjutnya dipimpin Raja-Raja: Mahraja Muda Mohammad Nurdin (1870-1914), Raja Alamsyah (1928-1931), Raja Ismail (1931-1933), Raja Hassim (1933-1946). Meski Deli pernah berekspansi dalam pemerintahan langsung dengan mengirim wakilnya, yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888) dan Tengku Djalaluddin (1914-1928), masa itu Raja-Raja Padang di Bulian Tebing Tinggi diturunkan kedudukannya oleh Deli dengan sebutan Wazir.

Info detail : 0812 6433 2925

Hubungi Kami :

SEWA MOBIL MEDAN

SEWA HIACE MEDAN